Siapa yang sangka jumlah pemudik Indonesia setiap tahunnya sangat besar. Pemerintah memperkirakan 18,5 juta orang, jumlah itu sudah termasuk 2,2 juta orang yang mudik dengan menggunakan sepeda motor.
Luar biasanya angka mudik ini naik 5 persen setiap tahunnya. Dengan jumlah angka ini kapitalisasi mudik diperkirakan akan mencapai Rp 52,17 triliun, angka yang luar biasa untuk sebuah momen yang singkat.
Pertanyaannya ke mana konsumsi ini mengalir? Siapa saja yang menikmati kue mudik ini? Jasa angkutan umum termasuk jasa angkutan informal seperti ojek dan becak diperkirakan mengeruk kue mudik sebesar Rp 11 triliun.
Sedangkan untuk konsumsi uang saku bagi para pemudik bisa mencapai Rp 18,5 triliun. Sisanya dana mudik ini yang terbesar dipakai untuk konsumsi baju dan makanan Lebaran, biaya komunikasi dan biaya zakat serta sedekah.
Mudik menjadi semacam upacara budaya yang berbiaya mahal. Ini adalah pergelaran kolosal yang melibatkan belasan juta pemain dan menghabiskan puluhan triliun rupiah. Apakah ini menjadi suatu pertunjukan penuh makna, atau hanya pesta hura-hura yang segera kehilangan arti. Tentu saja ini tergantung siapa yang memainkan perannya.
Syukur bila mudik menjadi keberkahan tersendiri buat sebagian usaha kecil milik masyarakat banyak. Sayangnya produsen bermodal besar selalu menang. Maka kue mudik sebagian besar masih diraih oleh penyedia jasa dan produk dengan modal besar.
Artinya ini bisa jadi keuntungan mudik menjadi milik sebagian kecil orang saja. Perlu rekayasa sosial yang serius untuk memanfaatkan mudik menjadi Lebaran sesungguhnya bagi usaha kecil. Kata kuncinya adalah pemihakan. Mulai dari komposisi kekayaan desa dan kota yang perlu dibenahi, lapangan kerja dan pola konsumsi menjadi PR besar kita semua.
(diambil dari: www.google.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar