Senin, 16 November 2009

Fenomena Budaya di Indonesia: Ondel-ondel

Salah satu bentuk pertunjukan rakyat Betawi yang sering ditampilkan dalam pesta-pesta rakyat adalah ondel-ondel. Nampaknya ondel-ondel memerankan leluhur atau nenek moyang yang senantiasa menjaga anak cucunya atau penduduk suatu desa.

Ondel-ondel yang berupa boneka besar itu tingginya sekitar ± 2,5 m dengan garis tengah ± 80 cm, dibuat dari anyaman bambu yang disiapkan begitu rupa sehingga mudah dipikul dari dalarnnya. Bagian wajah berupa topeng atau kedok, dengan rambut kepala dibuat dari ijuk. Wajah ondel-ondel laki-laki di cat dengan warna merah, sedang yang perempuan dicat dengan warna putih. Bentuk pertunjukan ini banyak persamaannya dengan yang terdapat di beberapa daerah lain.

Semula ondel-ondel berfungsi sebagai penolak bala atau gangguan roh halus yang gentayangan. Dewasa ini ondel-ondel biasanya digunakan untuk menambah semarak pesta- pesta rakyat atau untuk penyambutan tamu terhormat, misainya pada peresmian gedung yang baru selesai dibangun. Betapapun derasnya arus modernisasi, ondel-ondel ternyata masih tetap bertahan dan menjadi penghias wajah kota metropolitan Jakarta.

Musik yang mengiringi ondel-ondel tidak tertentu, tergantug dari masing-masing rombongan. Ada yang diiringi tanjidor, seperti rombongan ondel-ondel pimpian Gejen, kampong setu. Ada yang diiringi dengan pencak Betawi seperti rombongan “Beringin Sakti” pimpinan Duloh, sekarag pimpinan Yasin, dari Rawasari. Adapula yang diirig Bende, “Kemes”, Ningnong dan Rebana ketimpring, seperti rombogan ondel-ondel pimpinan Lamoh, Kalideres. Ondel-ondel betawi tersebut pada dasarnya masih tetap bertahan dan menjadi penghias di wajah kota metropolitan Jakarta.

Walaupun pertunjukan rakyat semacam itu terdapat pula di beberapa tempat lain seperti di Priangan dikenal dengan sebutan Badawang, di Cirebon disebut Barongan Buncis dan di Bali disebut Barong Landung, tetapi ondel-ondel memiliki karakteristik yang khas. Ondel-ondel tergolong salah satu bentuk teater tanpa tutur, karena pada mulanya dijadikan personifikasi leluhur atau nenek moyang, pelindung keselamatan kampung dan seisinya. Dengan demikian dapat dianggap sebagai pembawa lakon atau cerita, sebagaimana halnya denganBekakakdalam upacaraPotong Bekakakdi gunung Gamping di sebelah selatan kota Yogyakarta, yang diselenggarakan pada bulan Sapar setiap tahun.

Pembuatan
ondel-ondel dilakukan secara tertib, baik waktu membentuk kedoknya, demikian pula pada waktu menganyam badannya dengan bahan bambu. Sebelum pekerjaan dimulai, biasanya disediakan sesajen yang antara lain berisi bubur merah putih, rujak-rujakan tujuh rupa, bunga-bungaan tujuh macam dan sebagainya, disamping sudah pasti dibakari kemenyan. Demikian pula ondel-ondel yang sudah jadi, biasa pula disediakan sesajen dan dibakari kemenyan, disertai mantera-mantera ditujukan kepada roh halus yang dianggap menunggui ondel-ondel tersebut. Sebelum dikeluarkan dari tempat penyimpanan, bila akan berangkat main, senantiasa diadakan sesajen. Pembakaran kemenyan dilakukan oleh pimpinan rombongan atau salah seorang yang dituakan. Menurut istilah setempat upacara demikian disebut "UkupatauNgukup”.

(diambil dari: www.google.com)

Minggu, 15 November 2009

Fenomena Sosial di Indonesia: Gotong Royong

Gotong royong merupakan suatu istilah asli Indonesia yang berarti bekerja bersama-sama untuk suatu hasil yang didambakan. Bersama-sama dengan musyawarah, pantun, Pancasila, hukum adat, ketuhanan, dan kekeluargaan, gotong royong menjadi dasar Filsafat Indonesia. Gotong royong adalah kegiatan yang yang sudah lama ada dan dilakukan oleh para warga masyarakat indonesia, khususnya di perkampungan ataupun di pedesaan. Gotong royong itu sendiri artinya adalah berkerja dengan bersama-sama atau bekerja sama melakukan pembersihan kampung mereka.

Gotong royong ini biasanya dilakukan untuk membersihkan atau menata dan memperbaiki lingkungan perkampungan. banyak yang bisa dilakukan dengan gotong royong ini yakni membersihkan gorong-gorong atau parit, memperbaiki jalan kampung, membangun pos ronda, memotong rumput, membersihkan sampah, dan masih banyak lagi.

Gotong-royong sebuah definisi bangsa Indonesia yang selama ini menjadi monumen penting yang selalu diagung-agungkan bangsa Indonesia. Bahkan tetap dijadikan wacana utama dalam tiga periode politik bangsa ini. Sejarah kemerdekaan telah mencatat bahwa kata gotong-royong telah menjadi elemen penting dalam kehidupan bernegara Indonesia. Di zaman Orde Lama, gotong-royong merupakan “kata suci" yang selalu dikumandangkan oleh Soekarno, bahkan pernah dalam salah satu pidatonya, Soekarno menyatakan bahwa bila Pancasila diperas menjadi Ekasila, maka Ekasila itu adalah gotong-royong. Di zaman Orde Baru, walaupun tak segencar di zaman Orde Lama, tetap saja gotong-royong menjadi salah satu kata penting di rezim pembangunan Soeharto.

Berbagai kenyataan diungkapkan untuk mendukung pendapat bahwa gotong-royong adalah sifat dasar yang dimiliki bangsa Indonesia. Mulai dari sistem pertanian secara bersama, acara kenduri, membangun rumah, dan segala macam kegiatan kemasyarakatan yang telah kita sama-sama baca dan pelajari sejak SD, semuanya menunjukkan bahwa gotong-royong sudah ada sejak zaman prasejarah di bumi Indonesia. Ya, memang sejak SD kita telah diberikan doktrin bahwa gotong-royong adalah sifat dasar bangsa Indonesia yang menjadi unggulan bangsa ini dan tidak dimiliki bangsa lain.
Kenyataan yang muncul dengan adanya jurang kemiskinan yang dalam, pengangguran, kerusuhan, krisis ekonomi, semakin membuat saya ragu, apakah benar bangsa ini memiliki jiwa dan semangat gotong-royong. Jikalau gotong-royong diartikan sebagai kerjasama, bekerja bersama-sama untuk mencapai tujuan, maka akan sangat diragukan bahwa bangsa ini memiliki jiwa gotong-royong. Jika gotong-royong itu ada, pastilah tidak ada jurang kemiskinan yang dalam, karena si kaya akan senatiasa membantu si miskin untuk meningkatkan taraf hidupnya. Pastilah tidak ada kerusuhan massa, yang dipicu adanya ketidakadilan, karena setiap ketidakadilan akan mustahil muncul dari jiwa gotong-royong. Demikian pula dengan krisis ekonomi dan krisis-krisis lainnya. Jiwa gotong-royong sudah mulai terkikis akibat masuknya budaya individualisme dan materialisme dari Barat. Semula saya setuju dengan pandangan ini, namun belakangan pendapat ini cuma sekedar apologi yang mencoba membenarkan pendapat pertama. Seandainya benar jiwa gotong-royong itu ada semenjak zaman dahulu, tidak mungkin bangsa Indonesia dijajah sampai berabad-abad lamanya.

Gotong-royong yang dimiliki bangsa ini hanyalah gotong-royong yang bersifat aman dan menguntungkan bersama. Sementara gotong-royong yang “berdarah-darah" untuk menolak penindasan adalah sesuatu yang tabu. Gotong-royong yang dimiliki bangsa ini adalah gotong-royong yang harus mempunyai feed back.

(diambil dari: www.google.com)

Fenomena Budaya di Indonesia: Batik


Batik adalah salah satu cara pembuatan bahan pakaian. Selain itu batik bisa mengacu pada dua hal. Yang pertama adalah teknik pewarnaan kain dengan menggunakan malam untuk mencegah pewarnaan sebagian dari kain. Dalam literatur internasional, teknik ini dikenal sebagai wax-resist dyeing. Pengertian kedua adalah kain atau busana yang dibuat dengan teknik tersebut, termasuk penggunaan motif-motif tertentu yang memiliki kekhasan. Batik Indonesia, sebagai keseluruhan teknik, teknologi, serta pengembangan motif dan budaya yang terkait, oleh UNESCO telah ditetapkan sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity) sejak 2 Oktober 2009.

Batik adalah kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya Indonesia (khususnya Jawa) sejak lama. Perempuan-perempuan Jawa di masa lampau menjadikan keterampilan mereka dalam membatik sebagai mata pencaharian, sehingga di masa lalu pekerjaan membatik adalah pekerjaan eksklusif perempuan sampai ditemukannya "Batik Cap" yang memungkinkan masuknya laki-laki ke dalam bidang ini. Ada beberapa pengecualian bagi fenomena ini, yaitu batik pesisir yang memiliki garis maskulin seperti yang bisa dilihat pada corak "Mega Mendung", dimana di beberapa daerah pesisir pekerjaan membatik adalah lazim bagi kaum lelaki.

Tradisi membatik pada mulanya merupakan tradisi yang turun temurun, sehingga kadang kala suatu motif dapat dikenali berasal dari batik keluarga tertentu. Beberapa motif batik dapat menunjukkan status seseorang. Bahkan sampai saat ini, beberapa motif batik tadisional hanya dipakai oleh keluarga keraton Yogyakarta dan Surakarta.

Batik merupakan warisan nenek moyang Indonesia ( Jawa ) yang sampai saat ini masih ada. Batik juga pertama kali diperkenalkan kepada dunia oleh Presiden Soeharto, yang pada waktu itu memakai batik pada Konferensi PBB.

Semula batik dibuat di atas bahan dengan warna putih yang terbuat dari kapas yang dinamakan kain mori. Dewasa ini batik juga dibuat di atas bahan lain seperti sutera, poliester, rayon dan bahan sintetis lainnya. Motif batik dibentuk dengan cairan lilin dengan menggunakan alat yang dinamakan canting untuk motif halus, atau kuas untuk motif berukuran besar, sehingga cairan lilin meresap ke dalam serat kain. Kain yang telah dilukis dengan lilin kemudian dicelup dengan warna yang diinginkan, biasanya dimulai dari warna-warna muda. Pencelupan kemudian dilakukan untuk motif lain dengan warna lebih tua atau gelap. Setelah beberapa kali proses pewarnaan, kain yang telah dibatik dicelupkan ke dalam bahan kimia untuk melarutkan lilin.

Ragam corak dan warna Batik dipengaruhi oleh berbagai pengaruh asing. Awalnya, batik memiliki ragam corak dan warna yang terbatas, dan beberapa corak hanya boleh dipakai oleh kalangan tertentu. Namun batik pesisir menyerap berbagai pengaruh luar, seperti para pedagang asing dan juga pada akhirnya, para penjajah. Warna-warna cerah seperti merah dipopulerkan oleh Tionghoa, yang juga mempopulerkan corak phoenix. Bangsa penjajah Eropa juga mengambil minat kepada batik, dan hasilnya adalah corak bebungaan yang sebelumnya tidak dikenal (seperti bunga tulip) dan juga benda-benda yang dibawa oleh penjajah (gedung atau kereta kuda), termasuk juga warna-warna kesukaan mereka seperti warna biru. Batik tradisonal tetap mempertahankan coraknya, dan masih dipakai dalam upacara-upacara adat, karena biasanya masing-masing corak memiliki perlambangan masing-masing.

Pada awalnya di Indonesia, baju batik kerap dikenakan pada acara acara resmi untuk menggantikan jas. Tetapi dalam perkembangannya apda masa Orde Baru baju batik juga dipakai sebagai pakaian resmi siswa sekolah dan pegawai negeri (batik Korpri) yang menggunakan seragam batik pada hari Jumat. Perkembangan selanjutnya batik mulai bergeser menjadi pakaian sehari-hari terutama digunakan oleh kaum wanita. Pegawai swasta biasanya memakai batik pada hari kamis atau jumat.

(diambil dari: www.google.com)

Fenomena Sosial di Indonesia: Mudik

Mudik adalah kegiatan perantau/ pekerja migran untuk kembali ke kampung halamannya. Mudik di Indonesia identik dengan tradisi tahunan yang terjadi menjelang hari raya besar keagamaan misalnya menjelang Lebaran. Pada saat itulah ada kesempatan untuk berkumpul dengan sanak saudara yang tersebar di perantauan, selain tentunya juga sowan dengan Beban yang paling berat yang dihadapi dalam mudik adalah penyediaan sistem transportasinya karena secara bersamaan jumlah masyarakat menggunakan angkutan umum atau kendaraan melalui jaringan jalan yang ada sehingga sering mengakibatkan penumpang/pemakai perjalanan menghadapi kemacetan. Tradisi mudik hanya ada di Indonesia. Mudik telah datang reiring tutup bulan Ramadhan kali ini. Tidak jauh-jauh dari pemandangan sebelumnya meskipun himpitan ekonomi semakin sempit, mudik masih saja diminati para perantau.Dalam hati para pemudik pasti ada alasan penting selain sekedar tradisi yang tercipta hanya karena kebiasaan saja. Mudik boleh juga diartikan secara sederhana dengan sebuah proses untuk menelusuri dan mengikatkan diri kepada akar sosial kita. Di kampung halaman, pemudik akan dapat menghayati kembali makna kedudukan dalam keluarga. Disitu pemudik dapat merasakan kasih sayang tanpa pamrih, bukan sekedar basa-basi. Di kampung halaman, para pemudik juga bisa mendapatkan kembali harkat dan nilai kemanusiaan lagi.

Siapa yang sangka jumlah pemudik Indonesia setiap tahunnya sangat besar. Pemerintah memperkirakan 18,5 juta orang, jumlah itu sudah termasuk 2,2 juta orang yang mudik dengan menggunakan sepeda motor.

Luar biasanya angka mudik ini naik 5 persen setiap tahunnya. Dengan jumlah angka ini kapitalisasi mudik diperkirakan akan mencapai Rp 52,17 triliun, angka yang luar biasa untuk sebuah momen yang singkat.


Pertanyaannya ke mana konsumsi ini mengalir? Siapa saja yang menikmati kue mudik ini? Jasa angkutan umum termasuk jasa angkutan informal seperti ojek dan becak diperkirakan mengeruk kue mudik sebesar Rp 11 triliun.
Sedangkan untuk konsumsi uang saku bagi para pemudik bisa mencapai Rp 18,5 triliun. Sisanya dana mudik ini yang terbesar dipakai untuk konsumsi baju dan makanan Lebaran, biaya komunikasi dan biaya zakat serta sedekah.

Mudik menjadi semacam upacara budaya yang berbiaya mahal. Ini adalah pergelaran kolosal yang melibatkan belasan juta pemain dan menghabiskan puluhan triliun rupiah. Apakah ini menjadi suatu pertunjukan penuh makna, atau hanya pesta hura-hura yang segera kehilangan arti. Tentu saja ini tergantung siapa yang memainkan perannya.

Syukur bila mudik menjadi keberkahan tersendiri buat sebagian usaha kecil milik masyarakat banyak. Sayangnya produsen bermodal besar selalu menang. Maka kue mudik sebagian besar masih diraih oleh penyedia jasa dan produk dengan modal besar.

Artinya ini bisa jadi keuntungan mudik menjadi milik sebagian kecil orang saja. Perlu rekayasa sosial yang serius untuk memanfaatkan mudik menjadi Lebaran sesungguhnya bagi usaha kecil. Kata kuncinya adalah pemihakan. Mulai dari komposisi kekayaan desa dan kota yang perlu dibenahi, lapangan kerja dan pola konsumsi menjadi PR besar kita semua.

(diambil dari: www.google.com)