Jumat, 11 Desember 2009

Fenomena Sosial di Indonesia: Upacara Metatah

Sejak masih berumur satu hari, setiap orang Bali dipenuhi dengan banyak ritual dalam hidupnya. Mulai dari upacara saat kelahirannya hingga ia meninggal dunia. Salah satu yang harus dilalui adalah Upacara Potong Gigi atau Metatah / Mesanggih dalam Bahasa Bali. Upacara Metatah merupakan salah satu ritual yang terpenting bagi setiap individu orang Bali yang menganut agama Hindu Bali. Upacara ini menandai satu babak hidup memasuki usia dewasa secara nniskala.

Upacara yang wajib dilakukan setiap lelaki atau wanita yang menginjak dunia dewasa dimaksudkan untuk mematikan 6 (enam) musush dalam diri manusia yang disebut Sad Ripu. Enam sifat buruk manusia itu terdiri dari Kama (nafsu), Loba (Rakus) Krodha (angkara murka) Mada (mabuk), Moha (kebingungan) dan Matsarya (iri hati). Keenam musuh diri itu harus dibersihkan dari setiap diri manusia, sehingga ritual ini menjadi kewajiban agar kehidupan setelahnya menjadi bersih dari semua sifat buruk tersebut.

Pada hari Suka Wage Klurut (Jumat) 10 Agustus 2007, merupakan hari Upacara Metatah yang dilakukan oleh 2 keluarga untuk 5 orang anaknya dari Banjar Tainsiat. Selain rangkaian upacara sehari sebelumnya dan 3 hari sesudahnya. Total selama 6 hari berturut-turut. Di hari H tersebut, tak lama sejak mentari menunjukkan dirinya, ritual dimulai dengan Ngajum Sekah di Merajan keluarga yang diiringi kidung Mantra yang dilakukan oleh para sesepuh keluarga.

Selanjutnya, setelah para juru sangging siap dengan peralatannya, yang akan metatah mulai bersiap. Prosesi Metatah diawali dengan pembacaan doa agar prosesi berjalan lancar. Kemudian sang juru Sangging, yang juga memiliki kemampuan supranatural, menyentuhkan gigi dengan cincin berwarna mirah delima di gigi dan dada. Ini melambangkan perlindungan bagi terhadap tubuh dari serangan ilmu hitam. Setelah yag ditatah berbaring, mulailah Sangging melakukan tugasnya. Selain peralatan untuk metatah yang terdiri dari kikir besi, juga ada perlengkapan penting yang tidak boleh tidak ada. Yaitu batang tebu sebagai pengganjal mulut agar tetap terbuka, kemudian potongan kunyit, potongan dapdap, kelapa gading muda untuk air bekas berkumur, air madu dan daun sirih. Semua punya makna dan simbol tersendiri.. Ditengah proses selalu dihentikan untuk memberikan kesempatan melihat apakah gigi yang dikikir telah cukup baik atau tidak. Proses metatah akan berakhir saat dirasakan cukup bagus dan itu dilambangkan dengan menggigit daun sirih. Metatah sendiri bukan dengan memotong gigi, namun mengkikir beberapa gigi. Gigi yang dikikir sebanyak 6 gigi, terutama gigi taring atas dan bawah.

Prosesi ini biasanya memakan waktu selama 10-15 menit. Dilakukan di bale utama keluarga. Biasanya, disekeliling Bali ini dikitari oleh beberapa anggota keluarga atau "orang pintar" yang memiliki kemampuan supranatural. Tempat metatah pun dijaga dengan ketat agar tak sembarangan orang bisa masuk area sakral ini. Semua dimaksudkan untuk menjaga lokasi metatah dan yang ditatah agar terhindar dari serangan ilmu hitam dari orang yang tak suka pada mereka atau juga sedang menguji ilmu hitamnya. Tak jarang terdengar kabar jika ada yang meninggal atau sakit tak lama setelah selesai ditatah. Oleh karenanya juga, upacara metatah tak pernah dilakukan hingga matahari berada di puncak langit.

Akhir prosesi hari itu dilakukan dengan persembahyangan di merajan keluarga. Seorang Pedanda memimpin persembahyangan para peserta metatah untuk memohon perlindungan dari Sang Hyang Widi Waca untuk memasuki tahapan baru dalam hidup mereka. Kepada para leluhur yang dilambangkan dengan patung bunga pun mereka minta didoakan dan direstui jalan hidupnya.


(diambil dari: www.google.com)

Fenomena Sosial di Indonesia: Ojek Payung

Musim hujan yang banyak mengguyur daerah Jakarta dan sekitarnya akhir-akhir ini, memunculkan banyak masalah yang belum juga terpecahakan sampai sekarang ini. Mulai dari banjir, kemacetan dimana-mana, dan sampah yang menumpuk ketika air sudah mulai surut. Di saat-saat seperti ini, ada sebagian orang yang memanfaatkan hujan sebagai ladang untuk mencari rezeki, yaitu dengan menjual layanan sebagai ojek payung.
Hal yang sangat menyedihkan adalah dimana sebagian besar dari ojek payung itu adalah anak-anak kecil yang seharusnya berlindung dari hujan malah dibiarkan hujan-hujanan demi mencari sedikit uang. Setiap orang yang menyewa layanan ojek payung tersebut tidak dikenakan tarif tertentu, melainkan dibayar dengan seikhlasnya saja. Biasanya mereka berkumpul di tempat-tempat ramai seperti mal, kampus, dan gedung-gedung perkantoran.
Sebagian besar anak-anak kecil tersebut adalah pelajar. Yang nantinya sebagai generasi penerus bangsa. Ketika mereka ditanya apakah orang tua mereka tahu tentang pekerjaan ojek payung ini, mereka menjawab iya. Orang tua mereka berharap penghasilan anak-anak itu dapat menambah pemasukan keluarga mereka. Padahal tidak sedikit pula yang setelah melakukan ojek payung itu mereka terkena demam yang membuat mereka tidak bisa bersekolah.
Hal ini seharusnya dapat menyadarkan orang tua bahwa tak seharusnya anak-anak dibiarkan melakukan pekerjaan seperti itu. Disaat anak-anak lain berada ditempat yang hangat dan terlindung dari hujan, mereka malah rela berhujan-hujanan dan kedinginan demi menolong orang tuanya. Kita tidak pernah tau apakah mereka melakukan hal itu dengan terpaksa atau tidak. Yang perlu kita pikirkan sekarang adalah bagaimana kita dapat menolong mereka untuk dapat memecahkan masalah tersebut. Kita tidak bisa diam hanya dengan menunggu kesadaran dari orang tua mereka saja, melainkan hal itu juga menjadi tanggung jawab kita bersama.

(diambil dari: www.google.com)

Jumat, 04 Desember 2009

Fenomena Budaya di Indonesia: Wayang Golek

Wayang Golek adalah suatu seni pertunjukan wayang yang terbuat dari boneka kayu, yang terutama sangat populer di wilayah Tanah Pasundan. Wayang adalah bentuk teater rakyat yang sangat popular. Orang sering menghubungkan kata “wayang” dengan ”bayang”, karena dilihat dari pertunjukan wayang kulit yang memakai layar, dimana muncul bayangan-bayangan. Di Jawa Barat, selain wayang kulit, yang paling populer adalah wayang golek. Berkenaan dengan wayang golek, ada dua macam diantaranya wayang golek papak (cepak) dan wayang golek purwa yang ada di daerah Sunda. Kecuali wayang wong, dari semua wayang itu dimainkan oleh seorang dalang sebagai pemimpin pertunjukan yang sekaligus menyanyikan suluk, menyuarakan antawacana, mengatur gamelan mengatur lagu dan lain-lain.

Dalam pertunjukan wayang golek, lakon yang biasa dipertunjukan adalah lakon carangan. Hanya kadang-kadang saja dipertunjukan lakon galur. Hal ini seakan menjadi ukuran kepandaian para dalang menciptakan lakon carangan yang bagus dan menarik.

Pola pengadegan wayang golek adalah sebagai berikut; 1) Tatalu, dalang dan sinden naik panggung, gending jejer/kawit, murwa, nyandra, suluk/kakawen, dan biantara; 2) Babak unjal, paseban, dan bebegalan; 3) Nagara sejen; 4) Patepah; 5) Perang gagal; 6) Panakawan/goro-goro; 7) Perang kembang; 8) Perang raket; dan 9) Tutug.

Salah satu fungsi wayang dalam masyarakat adalah ngaruat, yaitu membersihkan dari kecelakaan (marabahaya). Beberapa orang yang diruwat (sukerta), antara lain: 1) Wunggal (anak tunggal); 2) Nanggung Bugang (seorang adik yang kakaknya meninggal dunia); 3) Suramba (empat orang putra); 4) Surambi (empat orang putri); 5) Pandawa (lima putra); 6) Pandawi (lima putri); 7) Talaga Tanggal Kausak (seorang putra dihapit putri); 8) Samudra hapit sindang (seorang putri dihapit dua orang putra), dan sebagainya.

Wayang golek saat ini lebih dominan sebagai seni pertunjukan rakyat, yang memiliki fungsi yang relevan dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat lingkungannya, baik kebutuhan spiritual maupun material. Hal demikian dapat kita lihat dari beberapa kegiatan di masyarakat misalnya ketika ada perayaan, baik hajatan (pesta kenduri) dalam rangka khitanan, pernikahan dan lain-lain adakalanya diriingi dengan pertunjukan wayang golek.

Menurut dugaan, sebagaimana wayang kulit di daerah Jawa, wayang golek digunakan oleh para wali untuk menyebarkan Islam di Tanah Pasundan. Karena ajaran Hindu sudah cukup akrab di masyarakat Sunda kala itu, cerita Mahabrata dan Ramayana dari Tanah Hindu dimodifikasi untuk mengajarkan Ketauhidan. Misalkan, dalam cerita Mahabharata para dewa punya wewenang yang sangat absolut, sebagai penentu nasib dan takdir yang tidak bisa disanggah maka para wali membuat objek baru yang posisinya lebih kuat yaitu lewat tokoh Semar yang pada akhirnya Semar tersebut turun ke bumi -yang karena kesalahannya- untuk mendampingi setiap kejadian dalam babak Bharata Yuddha baik sebagai penengah atau sebagai eksekutor tokoh yang tidak bisa diajak ke dalam kebaikan.

(diambil dari: www.google.com)

Fenomena Budaya di Indonesia: Angklung

Angklung adalah alat musik tradisional Indonesia yang berasal dar Tanah Sunda, terbuat dari bambu, yang dibunyikan dengan cara digoyangkan (bunyi disebabkan oleh benturan badan pipa bambu) sehingga menghasilkan bunyi yang bergetar dalam susunan nada 2, 3, sampai 4 nada dalam setiap ukuran, baik besar maupun kecil. Laras (nada) alat musik angklung sebagai musik tradisi Sunda kebanyakan adalah salendro dan pelog. Dalam rumpun kesenian yang menggunakan alat musik dari bambu dikenal jenis kesenian yang disebut angklung. Adapun jenis bambu yang biasa digunakan sebagai alat musik tersebut adalah awi wulung (bambu berwarna hitam) dan awi temen (bambu berwarna putih). Purwa rupa alat musik angklung; tiap nada (laras) dihasilkan dari bunyi tabung bambunya yang berbentuk wilahan (batangan) setiap ruas bambu dari ukuran kecil hingga besar.

Angklung merupakan alat musik yang berasal dari Jawa Barat. Angklung gubrag di Jasinga, Bogor, adalah salah satu yang masih hidup sejak lebih dari 400 tahun lampau. Kemunculannya berawal dari ritus padi. Angklung diciptakan dan dimainkan untuk memikat Dewi Sri turun ke Bumi agar tanaman padi rakyat tumbuh subur.

Dikenal oleh masyarakat sunda sejak masa kerajaan Sunda, di antaranya sebagai penggugah semangat dalam pertempuran. Fungsi angklung sebagai pemompa semangat rakyat masih terus terasa sampai pada masa penjajahan, itu sebabnya pemerintah Hindia Belanda sempat melarang masyarakat menggunakan angklung, pelarangan itu sempat membuat popularitas angklung menurun dan hanya di mainkan oleh anak- anak pada waktu itu.

Asal usul terciptanya musik bambu, seperti angklung berdasarkan pandangan hidup masyarakat Sunda yang agraris dengan sumber kehidupan dari padi (pare) sebagai makanan pokoknya. Hal ini melahirkan mitos kepercayaan terhadap Nyai Sri Pohaci sebagai lambang Dewi Padi pemberi kehidupan (hirup-hurip).

Perenungan masyarakat Sunda dahulu dalam mengolah pertanian (tatanen) terutama di sawah dan huma telah melahirkan penciptaan syair dan lagu sebagai penghormatan dan persembahan terhadap Nyai Sri Pohaci, serta upaya nyinglar (tolak bala) agar cocok tanam mereka tidak mengundang malapetaka, baik gangguan hama maupun bencana alam lainnya.

Selanjutnya lagu-lagu persembahan terhadap Dewi Sri tersebut disertai dengan pengiring bunyi tabuh yang terbuat dari batang-batang bambu yang dikemas sederhana yang kemudian lahirlah struktur alat musik bambu yang kita kenal sekarang bernama angklung. Perkembangan selanjutnya dalam permainan Angklung tradisi disertai pula dengan unsur gerak dan ibing (tari) yang ritmis (ber-wirahma) dengan pola dan aturan=aturan tertentu sesuai dengan kebutuhan upacara penghormatan padi pada waktu mengarak padi ke lumbung (ngampih pare, nginebkeun), juga pada saat-saat mitembeyan, mengawali menanam padi yang di sebagian tempat di Jawa Barat disebut ngaseuk.

Demikian pula pada saat pesta panen dan seren taun dipersembahkan permainan angklung. Terutama pada penyajian Angklung yang berkaitan dengan upacara padi, kesenian ini menjadi sebuah pertunjukan yang sifatnya arak-arakan atau helaran, bahkan di sebagian tempat menjadi iring-iringan Rengkong dan Dongdang serta Jampana (usungan pangan) dan sebagainya.

Dalam perkembangannya, angklung berkembang dan menyebar ke seantero Jawa, lalu ke Kalimantan dan Sumatera. Pada 1908 tercatat sebuah misi kebudayaan dari Indonesia ke Thailand, antara lain ditandai penyerahan angklung, lalu permainan musik bambu ini pun sempat menyebar di sana.

(diambil dari: www.google.com)

Fenomena Sosial di Indonesia: Upacara Mitoni

Tradisi upacara ini sudah berjalan sejak nenek moyang di Jawa. Upacara ini diadakan pada seorang perempuan Jawa yang masih percaya dan hamil pertama kalinya. Sedangkan sang suami juga ikut dalam upacara tersebut.
Asal mitonneloni berasal dari kata “miton” yang berarti tujuh yaitu perempuan yang hamil selama tujuh bulan, sedangkan “nelon” berarti 3 bulan lamanya dalam kehamilan. Lalu orang Jawa memberi nama mitonneloni yaitu memperingati seseorang perempuan yang hamil pertama kali dan waktu tiga bulan dan 7 bulan dan menyambut kelahiran. Konon ceritanya orang yang masih percaya kalau tidak diadakan maka kelahirannya akan terganggu, dan orang Jawa khususnya sesepuh masih kental dengan hal – hal tersebut.

Pada masa kehamilan, pada umumnya masyarakat Jawa hanya melaksanakan Upacara Tradisi Ngliman (hamil 5 bulan) dan Mitoni (hamil 7 bulan). Upacara Tradisi Mitoni ini bertujuan menolak bala dan mohon keselamatan bagi anak yang sedang dikandung dan sang ibu yang mengandung. Selain Mitoni, tradisi ini disebut juga Tingkeban. Perlengkapan upacara yang diperlukan adalah sebagai berikut:
- Golongan bangsawan: Sajen: tumpeng robyong, tumpeng gundul, sekul asrep-asrepan, ayam hidup, sebutir kelapa, lima macam bubur dan jajan pasar. Kenduri: nasi majemukan, tujuh pasang nasi, pecel ayam, sayur menir, ketan kolak, apem, nasi gurih, ingkung, nasi punar, ketupat, rujak dan dawet, emping ketan, air bunga dan kelapa tabonan.
- Golongan rakyat biasa : Sajen: sego jangan, jajan pasar, jenang abang putih, jenang baro-baro, emping ketan, tumpeng robyong, sego golong, sego liwed dan bunga telon. Kenduri: sego gurih, sego ambengan, jajan pasar, ketan kolak, apem, pisang raja, sego jajanan, tujuh buah tumpeng, jenang, kembang boreh dan kemenyan.

Tingkeb artinya tutup, sehingga tingkeban merupakan upacara penutup selama kehamilan sampai bayi dilahirkan. Upacara ini dilaksanakan pada umur kehamilan tujuh bulan di waktu setelah maghrib, dan dihadiri oleh si ibu, suami, keluarga, dukun dan ulama. Terdapat makanan pantangan yaitu ikan gabus/sungsang, daging yang bersifat panas, belut, kepiting, buah durian dan maja.

Upacara ini terbagi menjadi dua:
1. Mitoni untuk calon ibu yang akan mempunyai anak pertama dengan tambahan siraman
2. Mitoni untuk anak kedua dan seterusnya hanya dilakukan slametan kendhuri


(diambil dari: www.google.com)

Senin, 16 November 2009

Fenomena Budaya di Indonesia: Ondel-ondel

Salah satu bentuk pertunjukan rakyat Betawi yang sering ditampilkan dalam pesta-pesta rakyat adalah ondel-ondel. Nampaknya ondel-ondel memerankan leluhur atau nenek moyang yang senantiasa menjaga anak cucunya atau penduduk suatu desa.

Ondel-ondel yang berupa boneka besar itu tingginya sekitar ± 2,5 m dengan garis tengah ± 80 cm, dibuat dari anyaman bambu yang disiapkan begitu rupa sehingga mudah dipikul dari dalarnnya. Bagian wajah berupa topeng atau kedok, dengan rambut kepala dibuat dari ijuk. Wajah ondel-ondel laki-laki di cat dengan warna merah, sedang yang perempuan dicat dengan warna putih. Bentuk pertunjukan ini banyak persamaannya dengan yang terdapat di beberapa daerah lain.

Semula ondel-ondel berfungsi sebagai penolak bala atau gangguan roh halus yang gentayangan. Dewasa ini ondel-ondel biasanya digunakan untuk menambah semarak pesta- pesta rakyat atau untuk penyambutan tamu terhormat, misainya pada peresmian gedung yang baru selesai dibangun. Betapapun derasnya arus modernisasi, ondel-ondel ternyata masih tetap bertahan dan menjadi penghias wajah kota metropolitan Jakarta.

Musik yang mengiringi ondel-ondel tidak tertentu, tergantug dari masing-masing rombongan. Ada yang diiringi tanjidor, seperti rombongan ondel-ondel pimpian Gejen, kampong setu. Ada yang diiringi dengan pencak Betawi seperti rombongan “Beringin Sakti” pimpinan Duloh, sekarag pimpinan Yasin, dari Rawasari. Adapula yang diirig Bende, “Kemes”, Ningnong dan Rebana ketimpring, seperti rombogan ondel-ondel pimpinan Lamoh, Kalideres. Ondel-ondel betawi tersebut pada dasarnya masih tetap bertahan dan menjadi penghias di wajah kota metropolitan Jakarta.

Walaupun pertunjukan rakyat semacam itu terdapat pula di beberapa tempat lain seperti di Priangan dikenal dengan sebutan Badawang, di Cirebon disebut Barongan Buncis dan di Bali disebut Barong Landung, tetapi ondel-ondel memiliki karakteristik yang khas. Ondel-ondel tergolong salah satu bentuk teater tanpa tutur, karena pada mulanya dijadikan personifikasi leluhur atau nenek moyang, pelindung keselamatan kampung dan seisinya. Dengan demikian dapat dianggap sebagai pembawa lakon atau cerita, sebagaimana halnya denganBekakakdalam upacaraPotong Bekakakdi gunung Gamping di sebelah selatan kota Yogyakarta, yang diselenggarakan pada bulan Sapar setiap tahun.

Pembuatan
ondel-ondel dilakukan secara tertib, baik waktu membentuk kedoknya, demikian pula pada waktu menganyam badannya dengan bahan bambu. Sebelum pekerjaan dimulai, biasanya disediakan sesajen yang antara lain berisi bubur merah putih, rujak-rujakan tujuh rupa, bunga-bungaan tujuh macam dan sebagainya, disamping sudah pasti dibakari kemenyan. Demikian pula ondel-ondel yang sudah jadi, biasa pula disediakan sesajen dan dibakari kemenyan, disertai mantera-mantera ditujukan kepada roh halus yang dianggap menunggui ondel-ondel tersebut. Sebelum dikeluarkan dari tempat penyimpanan, bila akan berangkat main, senantiasa diadakan sesajen. Pembakaran kemenyan dilakukan oleh pimpinan rombongan atau salah seorang yang dituakan. Menurut istilah setempat upacara demikian disebut "UkupatauNgukup”.

(diambil dari: www.google.com)

Minggu, 15 November 2009

Fenomena Sosial di Indonesia: Gotong Royong

Gotong royong merupakan suatu istilah asli Indonesia yang berarti bekerja bersama-sama untuk suatu hasil yang didambakan. Bersama-sama dengan musyawarah, pantun, Pancasila, hukum adat, ketuhanan, dan kekeluargaan, gotong royong menjadi dasar Filsafat Indonesia. Gotong royong adalah kegiatan yang yang sudah lama ada dan dilakukan oleh para warga masyarakat indonesia, khususnya di perkampungan ataupun di pedesaan. Gotong royong itu sendiri artinya adalah berkerja dengan bersama-sama atau bekerja sama melakukan pembersihan kampung mereka.

Gotong royong ini biasanya dilakukan untuk membersihkan atau menata dan memperbaiki lingkungan perkampungan. banyak yang bisa dilakukan dengan gotong royong ini yakni membersihkan gorong-gorong atau parit, memperbaiki jalan kampung, membangun pos ronda, memotong rumput, membersihkan sampah, dan masih banyak lagi.

Gotong-royong sebuah definisi bangsa Indonesia yang selama ini menjadi monumen penting yang selalu diagung-agungkan bangsa Indonesia. Bahkan tetap dijadikan wacana utama dalam tiga periode politik bangsa ini. Sejarah kemerdekaan telah mencatat bahwa kata gotong-royong telah menjadi elemen penting dalam kehidupan bernegara Indonesia. Di zaman Orde Lama, gotong-royong merupakan “kata suci" yang selalu dikumandangkan oleh Soekarno, bahkan pernah dalam salah satu pidatonya, Soekarno menyatakan bahwa bila Pancasila diperas menjadi Ekasila, maka Ekasila itu adalah gotong-royong. Di zaman Orde Baru, walaupun tak segencar di zaman Orde Lama, tetap saja gotong-royong menjadi salah satu kata penting di rezim pembangunan Soeharto.

Berbagai kenyataan diungkapkan untuk mendukung pendapat bahwa gotong-royong adalah sifat dasar yang dimiliki bangsa Indonesia. Mulai dari sistem pertanian secara bersama, acara kenduri, membangun rumah, dan segala macam kegiatan kemasyarakatan yang telah kita sama-sama baca dan pelajari sejak SD, semuanya menunjukkan bahwa gotong-royong sudah ada sejak zaman prasejarah di bumi Indonesia. Ya, memang sejak SD kita telah diberikan doktrin bahwa gotong-royong adalah sifat dasar bangsa Indonesia yang menjadi unggulan bangsa ini dan tidak dimiliki bangsa lain.
Kenyataan yang muncul dengan adanya jurang kemiskinan yang dalam, pengangguran, kerusuhan, krisis ekonomi, semakin membuat saya ragu, apakah benar bangsa ini memiliki jiwa dan semangat gotong-royong. Jikalau gotong-royong diartikan sebagai kerjasama, bekerja bersama-sama untuk mencapai tujuan, maka akan sangat diragukan bahwa bangsa ini memiliki jiwa gotong-royong. Jika gotong-royong itu ada, pastilah tidak ada jurang kemiskinan yang dalam, karena si kaya akan senatiasa membantu si miskin untuk meningkatkan taraf hidupnya. Pastilah tidak ada kerusuhan massa, yang dipicu adanya ketidakadilan, karena setiap ketidakadilan akan mustahil muncul dari jiwa gotong-royong. Demikian pula dengan krisis ekonomi dan krisis-krisis lainnya. Jiwa gotong-royong sudah mulai terkikis akibat masuknya budaya individualisme dan materialisme dari Barat. Semula saya setuju dengan pandangan ini, namun belakangan pendapat ini cuma sekedar apologi yang mencoba membenarkan pendapat pertama. Seandainya benar jiwa gotong-royong itu ada semenjak zaman dahulu, tidak mungkin bangsa Indonesia dijajah sampai berabad-abad lamanya.

Gotong-royong yang dimiliki bangsa ini hanyalah gotong-royong yang bersifat aman dan menguntungkan bersama. Sementara gotong-royong yang “berdarah-darah" untuk menolak penindasan adalah sesuatu yang tabu. Gotong-royong yang dimiliki bangsa ini adalah gotong-royong yang harus mempunyai feed back.

(diambil dari: www.google.com)